Q Ketika Masih Kecil, hehehehe

I Try So I Can. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Myself

Foto saya
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Beautiful, Like Soft meat ball ( Bakso tapi yg halus getuch ) ihikz,,,, tp yg pasti Setya pokoknya,,, cie2,,,,
RSS

Qiraatul Qur'an

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiraat

Qiraat adalah jamak dari qira’ah yang berarti “bacaan”, dan ia adalah masdar (verbal noun) dari qara’a. menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada rasulullah. Periode qurra’ (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat adalah Ubai, Ali, Zaid bin Sabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada rasulullah.
Az-Zahabi menyebutkan di dalam Tabaqatul Qurra’, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qiraat Qur’an ada tujuh orang, yaitu: Usman, Ali, Ubai, Zaid bin Sabit, Abu Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ari. Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari Ubai, di antaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas dan Abdullah bin Sa’ib. Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid.
Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi’in di setiap negeri mempelajari qiraat. Di antara tabi’in tersebut ada yang tinggal di Madinah yaitu Ibnul Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ – keduanya putra Yasar -, Mu’az bin Haris yang terkenal dengan Mu’az al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Mekah ialah, ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah ialah Alqamah, al-Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Syurahbil, al-Haris bin Qais, ‘Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman as-Sulami, Sa’id bin Jabir, an-Nakha’I dan asy-Sya’bi.



Yang tinggal di Basrah ialah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah. Sedangkan yang tinggal di Syam ialah al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi, - murid Usman, dan Khalifah bin Sa’d – sahabat Abu Darda’.
Pada permulaan abad pertama Hijriah di masa Tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkanlah (dinisbahkanlah) qiraat hingga sekarang ini.
Qiraat-qiraat itu bukanlah tujuh huruf, sebagaimana yang telah dimaksudkan dalam hadist . menurut pendapat yang paling kuat, meskipun kesamaan bilangan di antara keduanya mengesankan. Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan mazhab bacaan Qur’an para imam, yang secara ijma’ masih tetap eksis dan digunakan umat hingga kini, dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgam, izhar, isyba’, madd, qasr, tasydid, takhfif dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy.
Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan qiraat. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir (al-Urdah al-Akhirah), yaitu ketika wilayah ekspansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabat pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat Islam pada satu huruf, yaitu huruf Quraisy, dan menuliskan Mushaf-mushaf dengan huruf tersebut.
B. POPULARITAS TUJUH IMAM QIRAAT
Imam atau guru qiraat itu cukup banyak jumlahnya, namun yang popular hanya tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang telah disepakati. Akan tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang sahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja’far Yazin bin Qa’qa’ al-Madani, Ya’qub bin Ishaq al-Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam terakhir ini dan tujuh imam di atas dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat di luar yang sepuluh ini dipandang qiraat syaz, seperti qiraat Yazidi, Hasan, A’masy, Ibn Jubair dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak satu pun dari qiraat sepuluh dan bahkan qiraat tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab didalam qiraat-qiraat tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan qurra’ (ahli qiraat) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada abad ketiga Hijriah. Bila tidak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada permulaan abad kedua umat Islam di Basrah memilih qiraat Ibn ‘Amr dan Ya’qub; di Kufah oaring-orang memilih qiraat Hamzah dan ‘Asim; di Syam mereka memilih qiraat Ibn ‘Amir; di mekah mereka memilih qiraat Ibn Kasir; dan di Madinah memilih qiraat Nafi’. Mereka itulah tujuh orang qari’. Tetapi pada permulaan abad ketiga Abu Bakar bin Mujahid menetpkan nama al-Kisa’i dan membuang nama Ya’qub dari kelompok tujuh qari’ tersebut.
Berkata as-Suyuti: “Orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al-Kufi, kemudian Isma’il bin Ishaq al-Maliki murid Qalun, kemudian Abu Ja’far bin Jarir at-Tabari, selanjutnya Abu Bakar bin Mujahid. Kemudian pada masa Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampillah para ahli yang menyusun buku mengenai berbagai macam qiraat, baik yang mencakup semua qiraat maupun tidak, secara singkat maupun secara panjang lebar. Imam-imam qiraat itu sebenarnya tidak terhitung jumlahnya. Hafizul Islam Abu Abdullah az-Zahabi telah menyusun tabaqat (sejarah hidup) mereka, kemudian diikuti pula oleh Hafizul Qurra’ Abul Khair bin Jaziri”.
Imam Ibn Jaziri di dalam an-Nasyr mengemukakan, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu kitab adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam. Menurut perhitunganku, ia mengumpulkan duapuluh lima orang ulama ahli qiraat selain dari imam yang tujuh itu. Ia wafat pada 224. Kemudian al-Jaziri mengatakan pula, sesudah itu, Abu Bakar Ahmad bin Musa bin ‘Abbas bin Mujahid merupakan orang pertama yang membatasi hanya pada qiraat tujuh orang imam saja. Ia wafat pada 324. Selanjutnya ia mengatakan, kami mendapat berita dari sebagian orang yang tidak berpengetahuan bahwa qiraat yang benar hanyalah qiraat-qiraat yang berasal dari ketujuh imam. Bahkan dalam pandangan sebagian besar orang yang jahil, qiraat-qiraat yang benar itu hanyalah yang terdapat di dalam asy-Syatibiyyah dan at-Taisir.
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qiraat saja yang masyhur padahal masih banyak imam-imam qiraat lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyak periwayat qiraat mereka. Ketika semangat dan perhatian generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qiraat yang sesuai dengan khat Mushaf serta dapat mempermudah penghafalan dan pen-dabit-an qiraatnya.

Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa di antara ahli qiraat itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qiraat dan adanya kesepakatan untuk diambil serta dikembangkan qiraatnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam, tetapi tanpa mengabaikan penukilan qiraat imam di luar yang tujuh orang itu, seperti qiraat Ya’qub al-Hadrami, Abu Ja’far al-Madani, Syaibah bin Nassa’ dan sebagainya.
Para penulis kitab tentang qiraat telah memberikan andil besar dalam membatasi qiraat pada jumlah tertentu, sebab pembatasannya pada sejumlah imam qiraat tertentu tersebut . dan ini meyebabkan orang menyangka bahwa para qari’ yang qiraat-qiraatnya dituliskan itulah imam-imam qiraat yang terpercaya. Ibn Jabr al-Makki telah menyusun sebuah kitab tentang qiraat, yang hanya membatasi pada lima orang qari’ saja. Ia memilih seorang imam dari setiap negeri, dengan pertimbangan bahwa mushaf yang dikirimkan Usman ke negeri-negeri itu hanya lima buah. Sementara itu sebuah pendapat mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mushaf; lima buah seperti ditulis oleh al-Makki ditambah satu mushaf ke Yaman dan satu mushaf lagi ke Bahrain. Akan tetapi kedua mushaf terakhir ini tidak terdengar kabar beritanya.kemudian Ibn Mujahid dan lainnya berusaha untuk menjaga bilangan mushaf yang disebarkan Usman tersebut, maka dari mushaf Bahrain dan mushaf Yaman itu mereka mencantumkan pula ahli qiraatnya untuk meyempurnakan jumlah bilangan (tujuh). Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa berpegang pada qiraat tujuh ahli qiraat (qari’) itu, tanpa yang lain, tidaklah berdasarkan pada asar maupun sunah. Sebab jumlah itu hanyalah hasil usaha pengumpulan oleh beberapa orang terkemudian, yang kemudian kumpulan tersebut tersebar luas.

C. MACAM-MACAM QIRAAT, HUKUM DAN KAIDAHNYA
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawir, ahad dan syaz. Menurut mereka qiraat mutawir ialah qiraat yang tujuh, sedang qiraat ahad adalah tiga qiraat yang menggenapkan menjadi sepuluh qiraat ditambah qiraat para sahabat , dan selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan, bahwa qiraat yang sepuluh adalah mutawatir. Kemudian dikatakan pula bahwa yang menjadi pegangan dalam hal ini baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qiraat yang sahih.




Menurut mereka dabit atau kaidah qiraat yang sahih adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang ahrus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra’yu (penalaran).
2. Qiraat sesuai dengan salah satu Mushaf Usmani, meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qiraat yang mereka ketahui. Misalnya, mereka akan menuliskanالصر اط (al-Fatihah [1]:6), dengan sad sebagai ganti dari sin. Mereka tidak menuliskan sin yang merupakan asal ini agar lafaz tersebut dapat pula dibaca dengan sin yakni السر اط. Meskipun dalam satu segi berbeda dengan rasam, namun qiraat dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itu pun dimungkinkan pula.
3. Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa Arab mengingkari sesuatu qiraat hanya karena qiraat itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qiraat tidak menanggung beban apa pun atas keingkaran mereka itu.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalam dabit bagi qiraat yang sahih. Apabila ketiga syarat ini terpenuhi, yaitu: 1) sesuai dengan bahasa Arab, 2) sesuai dengan rasam Mushaf, 3) sahih sanadnya, maka qiraat tersebut adalah qiraat yang sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraat yang lemah, syaz atau batil.
Yang mengherankan ialah bahwa sebagian ahli Nahwu masih juga menyalahkan qiraat sahih yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut hanya semata-mata qiraat tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmu Nahwu yang mereka jadikan tolok ukur bagi kesahihan bahasa. Seharusnya qiraat yang sahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya menjadikan kaidah ini sebagai pedoman bagi Qur’an. Hal ini karena Qur’an adalah sumber pertama dan pokok bagi pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang Qur’an sendiri didasarkan pada kesahihan penukilan dan riwayat yang menjadi landasan para qari’, bagaimanapun juga adanya. Ibn Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qiraat yang sahih ini menegaskan, “kata-kata dalam kaidah di atas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidaklah mengurangi kesahihan sesuatu qiraat jika qiraat tersebut telah tersebar luas, populer dan diterima para imam berdasarkan isnad yang sahih, sebab hal yang terakhir inilah yang menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama. Memang, tidak sedikit qiraat yang diingkari oleh ahli nahwu atau sebagian besar mereka, tetapi keingkaran mereka itu tidak perlu dihiraukan, seperti mensukunkan, mengkhafadkan, menasabkan dan memisah antara mudaf dengan mudaf ilaih.
Berkata Abu ‘Amr ad-Dani, “para imam qiraat tidak memperlakukan sedikit pun huruf-huruf Qur’an menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebahasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu mantap, maka aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan”. Zaid bin Sabit berkata, “Qiraat adalah sunah muttaba’ah, sunah yang harus diikuti.
Baihaki menjelaskan, maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraat Qur’an merupakan sunah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi Mushaf yang merupakan imam dan tidak pula menyalahi qiraat-qiraat yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam bahasa Arab.
Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam:
1. Mutawatir, yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni rasulullah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.
2. Masyhur, yakni qiraat yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat macam ini termasuk qiraat yang dapat dipakai atau digunakan.
3. Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasam Usmani, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaan.




4. Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya
5. Maudu’, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat Ibn ‘Abbas:
(al-Baqarah [2]:198), kalimat adalah penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat.
Keempat macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti mashur, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar salat.
Nawawi dalam Syarh al-Muhazzab berkata, “qiraat yang syaz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar salat, karena ia bukan Qur’an. Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qiraat yang syaz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah atau jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qiraat yang syaz, maka ia harus diingkari baik bacaan itu di dalam maupun di luar salat. Para fuqaha Bagdad sepakat bahwa orang yang membaca Qur’an dengan qiraat yang syaz harus disuruh bertobat. Ibn ‘Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa Qur’an tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syaz dan juga tidak sah salat di belakang orang yang membaca Qur’an dengan qiraat-qiraat syaz itu”.


D. FAEDAH BERANEKA RAGAMNYA QIRAAT YANG SAHIH
Bervariasinya qiraat yang sahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, di antaranya:
1. Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan padahal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Qur’an.






3. Bukti kemukjizatan Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaz)-nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu pengulangan lafaz. Misalnya ayat (al-maidah [5]:6), dengan menasabkan dan mengkhafadkan kata . Dalam qiraat yang menasabkannya terdapat penjelasan tentang hukum membasuh kaki, karena ia di’atafkan kepada ma’mul fi’l (objek kata kerja) gasala . sedang qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum menyapu sepatu ketika terdapat keadaan yang menuntut demikian, dengan alasan lafaz itu di’atafkan kepada ma’mul fi’l masaha . dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum tanpa berpanjang lebar kata. Inilah sebagian makna kemukjizatan Qur’an dari segi kepadatan maknanya.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dala qiraat lain. Misalnya, dengan tasydid dan takhfif . Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengan takhfif, sesuai denagn pandapat jumhur ulama. Karena itu istri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah haid, sebelum istri tersebut bersuci dengan air. Dan qiraat menjelaskan arti yang dimaksud qiraat yaitu pergi, bukan berjalan cepat – dalam firman-Nya (al-Jumu’ah [62]:9). Qiraat (al-Ma’idah [5]:38) sebagai ganti kata juga menjelaskan tangan mana yang harus dipotong. Demikian pula qiraat (an-Nisa’ [4]:12) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan saudara dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki seibu. Oleh karena itu para ulama mengatakan: “dengan adanya perbedaan qiraat, maka timbullah perbedaan dalam hukumnya”. Berkata Abu ‘Ubaidah dalam Fada’ilul Qur’an, “Maksud qiraat yang syaz ialah menafsirkan qiraat yang masyhur dan menjelaskan makna-maknanya. Misalkan qiraat Aisyah dan Hafsah
(al-Baqarah [2]:238), qiraat Ibn Mas’ud (al-Ma’idah [5]:38), dan qiraat Jabir (an-Nur [24]:33). Katanya pula: huruf-huruf (qiraat) ini dan yang serupa dengannya telah menjadi penafsir Qur’an. Qiraat – atau penafsiran – ini telah diriwayatkan dari tabi’in dan kemudian dianggap baik. Maka bagaimana pula bila yang demikian itu diriwayatkan dari tokoh-tokoh sahabat dan bahkan kemudian menjadi bagian dari suatu qiraat? Tentu hal ini lebih baik dan lebih kuat daripada sekedar tafsir. Setidak-tidaknya, manfaat yang dapat dipetik dari huruf-huruf ini ialah pengetahuan tentang takwil yang benar (sahih).
Ketujuh imam qiraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya, mereka adalah ulama yang yang terkena hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangan qiraatnya, adalah:
1. Abu ‘Amr bin ‘Ala’. Seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin ‘Ala’ bin ‘Ammar al-Mazini al-Basri. Ada yang mengatakan bahwa namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah kunyah-nya itu. Ia wafat di Kufah pada 154 H. dan dua orang perawinya adalah ad-Dauri dan as-Susi.
Ad-Dauri adalah Abu ‘Umar Hafs bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ad-Dauri an-Nahwi. Ad-Dauri nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 246 H.
As-Susi adalah Abu Syu’aib Salih bin Ziyad bin ‘Abdullah as-Susi. Ia wafat pada 261 H.
2. Ibn Kasir. Nama lengkapnya ‘Abdullah bin Kasir al-Makki. Ia termasuk seorang tabi’in, dan wafat di Mekah pada 120 H. dua rang perawinya ialah al-Bazi dan Qunbul. Al-Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin ‘Abdullah bin Abu Bazah, muazzin di Mekah. Ia diberi kunya Abu Hasan. Dan wafat di Mekah pada 250 H. sedangkan Qunbul adalah Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Sa’id al-Makhzumi. Ia sendiri kunyahAbu ‘Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang dikenal dengan nama Qanabilah. Ia wafat di Mekah pada 291 H.
3. Nafi’ al-Madani. Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Nu’aim al-Laisi, berasal dari Isfahan, dan wafat di Madinah pada 169 H. Dua orang perawinya adalah Qalun dan Warasy.
4. Ibn ‘Amr asy-Syami. Nama lengkapnya adalah ‘Abdullah bin ‘Amir al-Yahsubi, seorang qadi (hakim) di Damaskus pada masa pemerintahan Walid bin ‘Abdul Malik. Nama panggilannya adalah Abu ‘Imran, ia termasuk seorang tabi’in. wafat di Damaskus pada 118 H. dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibn Zakwan.
5. ‘Asim al-Kufi. Ia adalah ‘Asim bin Abun Najud, dan dinamakan pula Ibn Bahdalah, Abu Bakar. Ia termasuk seorang tabi’in, dan wafat di Kufah pada 128 H. Dua orang perawihnya adalah Syu’bah dan Hafs.
6. Hamzah al-Kufi. Ia adalah Hamzah bin Habib bin ‘Imarah az-Zayyat al-Fardi at-Taimi. Ia diberi kunyah Abu ‘Imarah, dan wafat di Halwan pada masa pemerintahan Abu Ja’far al-Mansur tahun 156 H. Dua orang perawihnya adalah Khalaf dan Khalad.
7. Al-Kisa’I al-Kufi. Ia adalah ‘Ali bin Hamzah, seorang imam ilmu Nahwu di Kufah. Ia diberi kunya Abdul Hasan. Dinamakan dengan al-Kisa’i karena ia memakai “kisa’” di saat ihram. Ia wafat di Barnabawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama ar-Rasyid pada 189 H. Dua orang perawihnya adalah Abdul Haris dan Hafs ad-Dauri.
8. Abu Ja’far al-Madani. Ia adalah Yazid bin Qa’qa’, wafat di Madinah pada 128 H. dan dikatakan pula 132 H. Dua orang perawihnya adalah Ibn Wardan dan Ibn Jimas.
9. Ya’qub al-Basri. Ia adalah Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq bin Zaid al-Hadrami, wafat di Basrah pada 205 H. tetapi dikatakan pula pada 185 H. Dua orang perawihnya adalah Ruwais dan Rauh.
10. Khalaf. Ia adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa’lab al-Bazar al-Bagdadi. Ia wafat pada 229 H. Tetapi dikatakan pula tahun kewafatannya tidak diketahui. Dua orang perawihnya adalah Ishaq dan Idris.
Sebagian ulama menambahkan pula empat qiraat kepada yang sepuluh itu. Keempat qiraat itu adalah:
1. Qiraat al-Hasanul Basri, maula (mantan sahaya) kaum Ansar dan salah seorang tabi’in besar yang terkenal dengan kezuhudannya. Ia wafat pada 110 H.
2. Qiraat Muhammad bin ‘Abdurrahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin. Ia wafat pada 123 H, dan ia adalah syaikh, guru Abu ‘Amr.
3. Qiraat Yahya bin Mubarak al-Yazidi an-Nahwi dari Bagdad. Ia mengambil qiraat dari Abu ‘Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh atau guru ad-Dauri dan as-Susi. Ia wafat pada 202 H.
4. Qiraat Abdul Faraj Muhammad bin Ahmad asy-Syanbuzi. Ia wafat pada 388 H.














Al waqfu dan al-ibtida
Pengetahuan tentang al-waafu dan al-ibtida’ mempunyai peranan penting dalam cara pengucapan Qur’an untuk menjaga keselamatan makna ayat, menjauhkan kekaburan dan menghindari kesalahan. Pengetahuan ini memerlukan pemahaman mendalam tentang berbagai ilmu kebahasaan, qiraat dan tafsir Quran sehingga arti sesuatu ayat tidak menjadi rusak. Dibawah ini kami kemukakan beberapa contohnya :
(al kahfi[18]:1) . kemudian ibtida’ Os9ur @yèøgs† ¼ã&©! 2%y`uqÏã Wajib waqaf misalnya , pada ayat
(al-kahfi[18]:2), hal ini agar tidak $VJÍhŠs% u‘É‹ZãŠÏj9 $U™ù't/ #Y‰ƒÏ‰x© `ÏiB çm÷Rà$©! (memulai ) dengan
Mengesankan bahwa lafadz……adalah sifat bagi lafaz……, sebab al-iwaj ( kebengkokan ) itu tidaklah qayiman(lurus).
Wajib waqaf pada lafaz yang diakhirnya terdapat “ha”sakat, misalnya pada ayat……………………………………..(al-haqqah:[69]: 25-26) dan pada ayat ……………………………………..al-haqqah [69] :28-29). Sebab pada selain quran ha sakat ini ditetapkan atau dibaca disaat waqaf dan dibuang ketika dibaca wasal (bersambung). Tetapi karena didalam Mushaf “ha” tersebut dituliskan., maka lafaz yang ada ha-nya itu tidak boleh diwasalkan, sebab sebagaimana ditetapkan dalam kaidah bahasa arab, ha sakat itu harus dibuang ketika wasal. Dengan demikian, menetapkan ha pada waktu wasal bertentangan dengan kaidah bahasa arab; namun membuangnyapun bertentangan dengan mushaf. Sedang dengan mewaqafkannya berarti telah mengikuti mushaf dan mengikuti pula kaidah bahasa arab. Dan bolehnya wasal dengan menetapkan ha itu sebenarnya dengan niat waqaf.
Wajib waqaf pula misalnya pada ayat…………………………………(yunus[10]:65). Kemudian memulai dengan…………..hal ini guna meluruskan maknanya. Sebab bila diwasalkan akan menimbulkan kesan bahwa ucapan (qaul) yang menyebabkan sedih adalah perkataan mereka……………padahal tidak demikian halnya.
Tidak dapat diragukn bahwa pengetahuan tentang waqaf dan ibtida’ sangat berfaedah dalam memahami makna dan menganalisis hukum-hukum yang terkandung dalam alquran.
Diriwayatkan dari ibn umar, ia berkata :’kami pernah hidup pada suatu masa dimana salah seorang diantara kami diberi iman sebelum (membaca ) quran. Tetapi sekarang, kami melihat banyak orang yang salah satu diantara mereka telah diberi quran namun belum juga beriman. Ia membaca alquran dari awal sampai tamat namun tanpa mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang serta dimana seharusnya ia berhenti (waqaf). Padahal setiap huruf quran menyerukan : “aku adalah utusan Allah kepadamu agar engkau mengamalkan aku dan mengikuti nasihat-nasihatku.”

Macam-macam waqaf
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian waqaf :
Dikatakan bahwa waqaf terbagi menjadi 8 macam yaitu tamm, syabihun bi tamm, naqis, hasan, syabihun bi hasan, qabih dan syabihun bi qabih. Dikatakan pula bahwa terbagi menjadi tiga yaitu : tamm, jaiz dan qabih. Juga dikatakan terbagi dua yaitu tamm dan qabih.
Menurut pendapat yang masyhur waqaf terbagi menjadi 4 macam yaitu : tamm-mukhtar, kafin-jaiz, hasan mafhum dan qabih matruk.
1. Tamm ialahh waqaf pada lafaz yang tidak berhubungan sedikitpun pada lafaz sesudahnya. Waqaf tamm banyak terdapat pada ra’-sul ayat (penghujung ayat). Seperti pada firmannya……………..(al-baqarah[2]:6). Namun terkadang pula waqaf ini terjadi sebelum berakhirnya fasilah, seperti waqaf pada firmannya ………………….(an-naml[27]:34), karena perkataan bilkis beraakhir sampai disini. Kemudian allah berfirman …………………………………(an-naml[27]:64), firmal ini merupakan ra’sul ayat.
2. Ka’fin jaiz. Yaitu waqaf pada sesuatu lafaz yang dari segi lafaz telah terputus dari lafaz sesudahnya, tetapi maknanya masih tetap bersambung. Diantara contohnya inilah setiap ra’sul ayat yang pada lafaz sesudahnya terdapat lam kai, misalnya pada firman……………………………………………………………..(yasin[36]:69-70)
3. Hasan. Yaitu waqaf pada lafaz yang dipandang baik pada lafaz itu tetapi tidak baik memulai dengan lafaz yang sesudahnya karena masih berhubungan dengannya dalam lafaz dan maknanya. Misalnya ayat………………………….(al fatihah[1]:2-3)
4. Qabih yaitu waqaf pada lafaz yang tidak dapat dipahami maksud sebenarnya, seperti waqaf pada firman ……………………….(al maidah[5:17), dan memulai dengan……………………………(al maidah[5]:17), sebab makna yang dipahami bila dimulai dengan kalimat itu menunjukkan kekafiran. Begitu pula firman …………………………(al maidah[5]:73). Maka waqaf pada lafaz………..tidak dibenarkan.

Tajwid dan adab tilawah
Abdullah bin masud adalah seorang qari’ yang memiliki suara merdu dan panda membaca qur’an. Bacaan (tilawah) yang baik mempunyai pengaruh tersendiri bagi pembaca dan pendengar dalam memahami makna-makna quran dan menangkap rahasia kemukjizatannya dengan khusyuk dan rendah diri. Nabi pernah mengatkan:
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
“barang siapa ingin membaca quran dengan merdu seperti ketika diturunkan, hendaklah ia membacanya menurut bacaan ibn ummi abd, yakni ibn mas’ud.
Demikian itu disebabkan ibn mas’iud dikaruniai suara yang bagus dan tajwid qur’an.para ulama dahulu dan sekarang, menaruh perhatian besar terhadap tilawah (cara membaca) quran sehingga pengucapan lafaz-lafaz alquran menjadi baik dan benar. Cara membaca ini dikalangan mereka, dikenal dengan tajwidul quran. Ilmu tentang tajwidul quran ini telah dibahas oleh segolongan ulama secara khusus dalam karya tersendiri baik berupa nazam maupun prosa. Kemudian mereka mendefinisikan tajwid sebagai “memberikan kepada huruf akan hak-hak dan tertibnya, mengembalikan huruf kepada makhraj dan asalnya, serta menghaluskan pengucapannya dengan cara-cara yang sempurna tanpa berlebihan, kasar, tergesa-gesa dan dipaksa-paksakan.
Tajwid sebagai salah satu disiplin ilmu mempunyai kaidah-kaidah tertentu yang harus dipedomi dalam pengucapan huruf-huruf dari makhrajnya disamping harus pula diperhatikan hubungan setiap huruf dengan yang sebelum dan sesudahnya dengan cara pengucapannya. Oleh karena itu ia tidak dapat diperoleh hanya sekedar dipelajari namun harus melalui latihan, praktek dan menirukan orang yang baik bacaannya. Sehubungan dengan ini ibn jaziri menyatakan “aku tidak mengetahui jalan paling baik efektif untuk mencapai puncak tajwid selain dari latihan lisan dan mengulang-ulang lafaz yang diterima dari mulut orang yang baik bacaannya. Dan kaidah tajwid itu berkisar pada cara waqaf, imalah,idgham,penguasaan hamzah,tarqiq,tafkhim,dan makharijul huruf.
Para ulama menganggap qiraat quran tanpa tajwid sebagai suatu lahn. Lahn adalah kerusakah atau kesalahan yang emnimpa lafaz, baik secara jaliy maupun khafiy. Lahn jaily adalaha kerusakan pada lafaz secara nyata sehingga dapat diketahui oleh ulama qiraat maupun lainnya, misalnya kesalahan I’rab atau saraf. Lahn khafiy adalah kerusakan pada lafaz yang hanya dapat diketahui oleh ulama qiraat dan para pengajar quran yang cara bacanyaditerima langsung oleh mulut para ulama qiraat dan kemudian dihafalnya dengan teliti, berikut keterangan tentang lafaz itu.
Berlebihan didalam tajwid sampai kellewat batas dan terjadi pemaksaan tidak lebih kecil bahayanya dari lahn, sebab hal itu merupakan penambahan huruf-huruf bukan pada temptnya., misalnya seperti dilakukan orang-orang yang membaaca quran dewasa inidengan irama melankolis dan suara yang diulang-ulang seperti halnya nyanyian yang diiringi alunan music dan petikn alat-alat hiburan. Para ulama telah mensyinyalir perbuatan tersebut sebagai suatu bid’ah dan menyebutnya dengan ta’rid,tarqis,tatrib,tahzin,atau tardid. Hal ini sebagaimana telah dinukil oleh ar-Rafi’I dalam I’jazul qur’an dengan mengatakan “ diantara perbuatan bid’ah dalam qiraat dan ada’ adalah tahlin atau melagukan bacaan yang hinggga sekarang ini masih ada dan disebarluaskan oleh orang-orang yang hatinya telah terpikat dan terlanjur mengagumi. Mereka membaca al-quran sedemikian rupa layaknya sebuah irama atau nyanyian. Dan diantara macam-macam talhin yang mereka kemukakan sesuai dengan irama lagu adalah :
a. Tar’id yaitu bila qari’ menggeletarkan suaranya, laksana suara yang menggeletar karena kedinginan atau kesakitan.
b. Tarqis, yaitu sengaja berhenti pada huruf mati namun kemudian dihentakkannya secara tiba-tiba disertai gerakan tubuh seakan-akan sedang melompat atau berjalan cepat.
c. Tatrib, yaitu mendendangkan atau melagukan quran sehingga mambaca panjang (mad) bukan pada tempatnya atau menambah bila kebetulan tepat pada tempatnya.
d. Tahzin yaitu membaca quran dengan nada memelas seperti orang yang bersedih sampai hampir menangis disertai kekusyukan dan suara lembut.
e. Tardad yaitu bila sekelompok orang menirukan seorang qari’ pada akhir bacaannya dengan satu gaya dari cara-cara diatas.

Membaca quran adalah salah satu sunah dalam islam dan dianjurkan memperbanyak agar setiap muslim hidup kalbunya dan cemerlang akalnya karena mendapat siraman cahaya Kitab Allah yang dibacanya. Selain itu membaca alquran dengan niat ikhlas dan maksud yang baik adalah suatu ibadah yang karenanya seorang muslim mendapatkan pahala.para ulama salaf (yang terdahulu) selalu memelihara bacaan quran. Diantara mereka ada yang membacanya sampai khatam dalam sehari semalam..
Perintah memperbanyak bacaan dan mengkhatamkan quran itu berbeda-beda sesuai dengan keadaan individu karena masing-masing mempunyai kemampuan yang berbeda dan tingkatan kepentingan mum yang berlainan pula.

Adab Membaca Quran
Dianjurkan bagi orang yang membaca alquran memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Membaca alquran setelah berwudhu karena ia termasuk zikir yang paling utama, meskipun boleh membacanya bagi orang yang berhadas.
2. Membacanya ditempat yang bersih dan suci untuk menjaga keagungan membaca alquran
3. Membacanya dengan khusyuk, tenang dan penuh hormat.
4. Bersiwak (membersihkan mulut) sebelum mulai membaca.
5. Membaca taawwuz
6. Membaca basmallah pada permulaan setiap surah, kecuali surat al-bara’ah sebab basmalah termasuk salah satu ayat quran menurut pendapat yang kuat.
7. Membacanya dengan tartil yaitu dengan bacaan yang pelan-pelan dan terang serta memberikan kepada setiap huruf akan haknya seperti membaca panjang dan idgham. Allah berfirman :
………………………………….(al-muzzammil[73]:4)
8. Memikirkan ayat-ayat yang dibacanya.
9. Meresapi makna dan maksud ayat-ayat al-quran yang berhubungan dengan janji maupun ancaman sehingga merasa sedih dan menangis ketika membaca ayat-ayat yang berkenaan dengan ancaman Karena takut akan negeri.
10. Membaguskan suara dengan membaca alquran , karena quran adalah hiasan bagi suara dan suara yang bagus lagi merdu akan lebih berpengaruh dan meresap dalam jiwa.
11. Mengeraskan bacaan quran karena membacanya dengan suara jahar lebih utama.
Mengajarkan Quran dan menerima upah (bayaran) atasnya.
Mengajarkan quran adalah fardhu kifayah dan menghafalkannya merupakan suatu kewajiban bagi umat islam agar dengan demikian tidak terputus jumlah kemutawatiran para penghafal quran disamping untuk menghindari timbulnya pembiasan makna dan penyimpangan arti. Bila tugas ini telah dilakukan oleh sebagian orang maka gugurlah kewajiban itu dari yang lain. bila tidak ada satupun yang melakukannya maka semuanya berdosa. Didalam sebuah hadis yang diriwayatkan usman dinyatakan :


………………………………………….
“ sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar quran dan mengajarkannya”
Cara mempelajari quran ialah dengan menghafalnya ayat demi ayat. Cara inilah yang dewasa ini dipakai dalam media pendidikan modern, yakni setiap pelajar diharuskan menghafal sedikit demi sedikit kemudian ditambah lagi dengan pelajaran berikutnya dan begitu seterusnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya menerima upah mengajar quran. Para penyelidik (ahlut tahqiq) menguatkan pendapat yang membolehkannya, berdasarkan sabda nabi :
…………………………
“pekerjaan yang paling berhak kamu ambil upahnya ialah (mengajarkan) kitab Allah. Dan sabdanya :
………………
“aku nikahkan engkau kepadanya dengan (maskawin) quran yang ada padamu.
Sebagian ulama telah membagi tipe pengajaran quran dengan baiknya menjadi beberapa macam dan menjelaskan hukumnya masing-masing, sebagaimana ditegaskan oleh Abu Lais dalam kitabnya al-bustan “pengajaran quran itu ada tiga macam, pertama, pengajaran yang karena Allah semata dan tidak mengambil upah; kedua, pengajaran dengan memungut upah; ketiga, pengajaran tanpa syarat, namun bila diberi hadiah maka diterimanya.
Pengajar tipe pertama mendapatkan pahala, dan itu merupakan tugas para nabi a.s. tipe kedua diperselisihkan. Ada yang mengatakan tidak boleh dilakukan berdasarkan ucapan nabi :
…………………………………..
“sampaikanlah dariku, meskipun hanya satu ayat”
Tetapi ada pula yang membolehkannya. Yang lebih baik ditempuh oleh pengajar quran ialah membuat perjanjian untuk hanya menerima bayaran bagi pekerjaan membimbing hafalan dan mengajar tulis menulis saja. Tetapi bila ia menetapkan pula bayaran mengajar quran, aku kira tidak ada halangannya, karena kaum muslimin telah mewarisi tradisi demikian sejak dulu dan membutuhkannya.
Macam ketiga adalah boleh menurut semua pendapat ulama, sebab nabi sendiri adalah pengajar semua orang dan beliau juga menerima hadiah. Selain itu, juga berdasarkan hadis tentang orang yang disengat kalajengking dimana para sahabat mengobati orang tersebut dengan bacaan surah al-fatihah dan mereka meminta imbalan, kemudian nabi bersabda:
……………………………
“berilah satu bagian dari imbalan yang kamu terima itu”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

ikeiavalcarcel mengatakan...

The Best Gambling Sites in 2020 - DrmCad
For 문경 출장샵 those new to 동해 출장안마 gambling, it's best to try 나주 출장안마 one 광명 출장샵 of the 포항 출장마사지 best gambling sites in the world. Gambling Site for USA players

Posting Komentar