Q Ketika Masih Kecil, hehehehe

I Try So I Can. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Myself

Foto saya
Malang, Jawa Timur, Indonesia
Beautiful, Like Soft meat ball ( Bakso tapi yg halus getuch ) ihikz,,,, tp yg pasti Setya pokoknya,,, cie2,,,,
RSS

Ibn Al-Arabi " Wahdat al-Wujud"

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbicara tentang wahdatu wujud, Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada, Harun nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan bahwa paham wahdat al-wujud nasut yang sudah ada dalam hulul diubah maejadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (tuhan).Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang di sebelah dalam disebut haqq.
Dalam fushush al-hikam sebagai dijelaskan oleh Al-Qashini dan di kutip Harun Nasution, fana wahdul wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan. ”Wajah sebenarnya satu tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”. Wahdatul al-wujud adalah wujud yang sejati adalah satu,tokoh yang mengajarkan tentanf wahdatul al-wujud adalah ibn arabi, nama lengkapnya Mohammad bin ali bin ahmad bin Abdullah ath-tha’i al-haitami. Dia lahir di Murcia, Andalusia tengah, Spanyol tahun 560 H. Di Seville (spanyol) dia mempelajari al-qur’an, hadist serta fikih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal yakni ibnu hazm al-zhahiri. Ia pindah ke Tunis di tahun 1145 dan masuk aliran sufi. Ajaran sentral ibn arabi adalah tentang wahdatul Al-wujud yang istilahnya bukan berasal dari ibn arabi sendiri melainkan berasal daai ibnu taimiyah tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut. Ibnu taimiyah telah berjasa dalam mempopulerkan wahdatul al-wujud ke dalam masyarakat islam meskipun tujuannya negatif.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah wahdat al-wujud itu?
2. Siapakah pembawa ajaran wahdat alwujud?
3. Apakah wahdat al-syuhud itu?
4. Bagaimana perbedaan antara wahdat al-wujud dengan wahdat al-syuhud?

C. Tujuan Masalah

1. Ingin mengetahui wahdat al-wujud
2. Ingin mengetahui pembawa ajaran wahdat alwujud
3. Ingin mengetahui wahdat al-syuhud
4. Ingin mengetahui perbedaan antara wahdat al-wujud dengan wahdat al-syuhud

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan tujuan Wahdat al wujud

Wahdah al wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjtnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan allah. Karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wahdaht al-wujud nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq(Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq. Kata-kata khalq dan haqq ini merupakan padanan kata al-a’rad (accident) dan al jauhar (substance) dan al-zahir ( lahir-luar-tampak), dan al-bathin( dalam, tidak Nampak).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek yaitu aspek luar yang disebut al-khalq (mahkluk) al’arad (accident-kenyataan luar), zahir (luar-tampak), dan aspek dalam yang disebut al-haqq(Tuhan), al-jauhar (substance-hakikat), dan al-bathin(dalam).
Selanjutnya paham ini juga mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang ada dan yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat, esensi atau substansi. Sedangkan aspek al-khalq, luar dan yang tampak merupakan bayangan yang ada karena adanya aspek yang pertama (al-haqq).

Paham ini selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara mahkluk (manusia) dan al-haqq(Tuhan) sebenarnya satu kesatuan dari wujud tuhan, dan yang sebenarnya ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud mahkluk hanya baying atau foto copy dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa allah sebagai diterangkan dalam al-hulul, ingin melihat diri-Nya diluar diri-Nya dan oleh Karena itu dijadikan-Nya ala mini. Dengan demikian ala mini merupakan cermin bagi Allah. Pada saat ia ingin melihat diri-Nya ia cukup dengan melihat ala mini . pada benda-benda yang ada didalam alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya seperti orang yang melihat dirinya didalam beberapa cermin yang diletakkan disekelilingnya. Didalam tiap cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya dirinya hanya satu. Dalam fushuh al-hikam sebagai dijelaskan oleh al-qashimi dan dikutip Harun Nasution, fana wahdatul wujud ini antara lain terlihat dalam ungkapan :

“wajah sebeenarnya satu tetapi jika engkau perbanyak cermin ia menjadi banyak”.
Dalam wujud yang lain uraian falsafah ini dapat dikemukakan sebagai berikut. Bahwa mahkluk yang dijadikan Tuhan dn wujudnya bergantung kepadanya adalah sebagai sebab dan dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan tak akan mempunyai wujud, sekiranya Tuhan tidak ada. Tuhanlah yang sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki atau yang wajibul wujud. Sementara itu mahkluk sebagai yang diciptakan-Nya hanya mempunyai wujud yang bergantung pada wujud yang berada pada dirinya, yaitu Tuhan. Dengan kata lain yang mempunyai wujud yang bergantung kepada wujud yang berada dirinya, yaitu Tuhan. Dengan kata lain yang mempunyai wujud sebenarnya hanyalah Tuhan dan wujud yang dijadikan ini sebenarnya tidak mempunyai wujud.
Yang menjadi wujud sesungguhnya hanyalah Allah. Dengan demikian sebenarnya hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Hal yang demikian itu lebih lanjut dikatakan Ibn arabi sebagai berikut :


Sudah menjadi kenyataan bahwa mahkluk adalah dijadikan dan bahwa ia berhajat kepada khaliq yang menjadikannya; karena ia hanya mempunyai sifat (mungkin ada mungkin tidak ada), dan dengan demikian wujudnya bergantung pada sesuatu lain…dan sesuatu yang lain tempat ia bersandar ini haruslah sesuatu yang lain; yang pada essensinya mempunyai wujud yang bersifat wajib, berdiri sendiri dan tak berhajat kepada yang lain dalam wujudnya; bahkan ialah yang dalam efiensinya memberikan wujud bagi yang dijadikan. Dengan demikian yang dijadikan mempunyai sifat wajib,,tetapi sifat wajib ini bergantung pada sesuatu yang lain, dan tidak pada dirinya sendiri.
Paham wahdatul wujud diatas mengisyaratkan bahwa pada manusia ada unsure lahir dan batin; dan pada Tuhanpun ada unsur lahir dan batin. Unsure lahir manusia adalah wujud fisiknya yang Nampak, sedangkan unsure batinnya adalah roh atau jiwanya yang tidak Nampak yang hal ini merupakan pancaran, bayangan atau foto copy tuhan. Selanjutnya unsure lain pada Tuhan adalah sifat-sifat ketuhanannya yang tampak di ala mini, dan unsure batinnya adalah zat Tuhan. Dalam wahdatul wujud ini yang terjadi adalah bersatunya wujud batin manusia dengan wujud lahir Tuhan, atau bersatunya unsure lahut yang ada pada manusia dengan unsure nasut yang ada pada Tuhan sebagaimana dikemukakan dalam paham hulul. Dengan cara demikian maka paham wahdatul wujud ini tidak mengganggu zat Tuhan, dan dengan demikian tidak akan membawa keluar islam.
Selanjutnya jika kita membuka alquran, didalamnya maka akan dijumpai ayat-ayat yang memberikan petunjuk bahwa Tuhan memiliki unsur zahir dan batin sebagaimana dikemukakan paham wahdatul wujud itu. Misalnya dalam ayat yang artinya:
Dialah Yang awal dan yang akhir yang zahir dan yang batin, dan dia maha mengetahui segala sesuatu. (Q.Al-Hadid, 57:3)

Dan menyempurnakan untukmu ni’mat-Nya lahir dan batin (QS. Luqman, 31:20).
Selanjutnya uraian tentang wujud manusia sebagai bergantung pada wujud Tuhan sebagaimana dikemukakan diatas, dapat dipahami bahwa manusia adalah sebagai mahkluk yang butuh dan fakir, sedangkan Tuhan adalah sebagai Yang Maha Kaya. Paham yang demikian sesuai dengan isyarat ayat yang berbunyi :
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah, dan Allah dialah yang Maha Kaya ( tidak memerlukan sesuatu ) lagi maha Terpuji (QS.AL-Fathir,35:11)
Dalam alquran dan terjemahnya terbitan departemen agama tahun 1984, halaman 90, kata al-awwal pada surat al-hadid ayat 3 diatas diartikan yang telah ada sebelum segala sesuatu dan al akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu yang musnah. Yang Zahir juga artinya yang nyata adabnya karena banyak bukti-buktinya dan “Yang Batin” ialah yang tak dapat digambarkan hakikat Zat-nya oleh akal.
Namun dalam pandangan sufi bahwa yang dimaksud dengan Yang Zahir adalah sifat-sifat Allah yang tampak, sedangkan yang Batin adalah zat-nya. Manusia dianggap mempunyai dua unsure tersebut karena manusia berasal dari pancaran Tuhan, sehingga antara manusia dengan Tuhan pada hakikatnya satu wujud.
Selanjutnya pada ayat 31 surat Luqman diatas dinyatakan bahwa yang lahir dan batin itu merupakan nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepada Manusia juga ada unsure lahir dan batin itu.

B. Tokoh yang membawa paham wahdatul wujud

Paham wahdatul wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1965. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan disana ia masuk aliran sufi. Ditahun 1202 M, ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M.
Selain sebagai sufi, ibn arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, diantaranya ada yang hanya 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Futuhah al-Makkah. Disamping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah fusus al-hikam yang juga berisi tentang tasawuf.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-hajjaj.
Baginya wujud (Yang Ada) itu hanya satu. Wujudnya mahkluk adalah ‘ain ujud khaliq. Pada hakikatnya tidaklah ada pemisah diantara manusia dan Tuhan. Kalau dikatakan berlainan antara khaliq dan mahkluk itu hanyalah lantaran pendeknya paham dan akal dalam mencapai hakikat. Dalam futuhat al-makkah, sebagai kitab yang dikarangnya. Ibn Arabi berkata sebagai berikut :
Wahai yang menjadikan segala sesuatu pada dirinya Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang Engkau bagi apa yang Engkau jadikan, mengumpulkan apa yang engkau jadikan, barang yang tak berhenti adanya pada Engkau, maka Engkaulah yang sempit dan lapang.
Pada bagian lain dari kitabnya itu, Ibn Arabi mengatakan bahwa wujud ala mini adalah ‘ain wujud Allah. Allah itu adalah hakikat alam. Tidak ada disana perbedaan diantara wujud yang qadim yang disebut khaliq dengan wujud yang baru yang dsebut mahkluk. Tidak ada perbedaan antara ‘abid(manusia yang menyembah) dan ma’bud(Tuhan yang disembah). Perbedaan itu hanya rupa dan ragam, sedangkan essensi dan hakikatnya sama. Pada bagian syairnya yang lain, Ibn Arabi mengatakan,


Hamba adalah tuhan, dan tuhan adalah hamba
Demi syu’urku, siapakah yang mukallaf
Kalau engkau katakana
Hamba, padahal dia Tuhan
Atau engkau kata Tuhan, yang mana yang diperintah

Selanjutnya Ibn Arabi mengatakan kalau sekiranya antara khaliq dan mahkluk itu satu wujudnya, mengapa kelihatan dua? Ibn Arabi menjawab “sebabya ilah karena manusia tidak memandangnya dari wajah yang satu. Mereka memandang kepada keduanya dengan pandangan, bahwa wajah pertama ialah haqq dan wajah kedua khaliq. Tetapi kalau dipandang dalam ‘ain yang satu dan wajah yang satu, atau dia adalah wajah yang dua dari hakikat yang satu, tentulah manusia akan mendekati hakikat Yang Esa, yang tiada terbilang dan tidak terpisah.
C. Konsepsi dasar Ibn Arabi tentang wahdat al-wujud
Konsep dasar Ibn Arabi adalah pengakuan bahwa ada zat tunggal saja, dan tidak ada sesuatu yang mewujud selain itu. Istilah arab untuk mewujud adalah wujud, yang dapat disamakan dengan keperiadaan (eksisten). Pembedaan, yang banyak mewujud dan mengada (being and existence) tidak ditakutkan oleh ibn arabi. Maka ketika ia menyatakan bahwa hanya ada zat tunggal, menurut Ibn Arabi, berarti (i) bahwa semua yang ada adalah zat tunggal, (ii) bahwa zat tunggal yang tidak tercepah ke dalam bagian-bagian, dan (iii) bahwa tidaklah ada berlebih disini atau juga tidak kekurangan disana. Oleh sebab itu, dalam setiap keperiadaan tidaklah ada sesuatu kecuali zat tunggal, yang secara mutlak tak terpecahkan/terbagikan (indivisible) dan serangan (homogen).
Zat, oleh sebab itu, menentukan diri sendiri, dan hasil dari penentuan diri (ta’ayaun) maka pembedaan dan perbedaan akan muncul dalam Zat dan penggandaan akan berkembang dari kesatuan. Tetapi dalam proses ini, Zat tidaklah membagi atau juga tidak menjarangkan diri sendiri. Samalah juga dengan Zat tunggal yang mengada dalam keseluruhannya, disini dengan satu bentuk dan di lain tempat dengan bentuk yang lain, tanpa membagi atau menjarangkan diri secara memadai. Sebagai seorang actor, ia tampak dalam berbagai karakter, dengan nama-nama yang berbeda, dan melakukan berbagai fungsi. Ibnu Al-arabi menyamakan penampakan dari sesuatu sebagai air, yang kini berwujud air, atau sebagai es, atau pula sebagai uap.
Ada lima tahapan dalam proses pengaturan diri dari Zat, yang biasa dikemukakan. Zat, dengan sifat pengaturan dirinya, adalah mutlak tunggal (Ahad); pada tahapan ini zat disebut sebagai ahadiyyah, kesatuan mutlak. Tahap kedua adalah wahdah atau ketunggalan, yakni ketika perbedaan batin muncul dalam zat. Ini terjadi manakala zat mengada pada diri sendiri dari diri sendiri, (yaitu pada ) gagasan-gagasan tentang segala sesuatu yang muncul di dunia di masa depan. Prototype ideal dari sesuatu ini disebut a’yan tsabitah; yang secara abadi tunduk dalam pengetahuan dari zat. Tahap penentuan diri selanjutnya disebut wahidiyah atau kesatuan, yaitu ketika zat menentukan sendiri eksistensialitas dalam objek-objek berkenaan dengan prototype idealnya, yakni a’yan tsabitah. Karena proses a’yan tsabitah pada dirinya tidak muncul di dunia terluar meninggalkan pengetahuan dan fikiran zat, dan tetap ada seperti sebelumnya dalam keadaan subsistensi (tsubut) yang apabila dibandingkan dengan keperiadaan adalah keadaan yang relative tidak ada, maka Ibnu al-Arabi menyebutnya ma’dum, atau ketidakadaan.
Tiga tahap selanjutnya adalah penentuan yang dikhususkan dari zat didalam jiwa yang disebut ta’ayun ruhi, yaitu penentuan rohaniah; dalam bentuk simbolis disebut ta’ayun mitsali atau penentuan simbolis, dan terakhir didalam jasad yang disebut dengan ta’ayun jasadi, atau penentuan jasadi. Penentuan eksistensial adalah tertentu, sebagai kebalikan dari penentual ideal yang tidak terbatas. Bersama-sama ada lima tahap penentuan yang dikenal sebagai hadrat khams, atau lima kehadiran Zat.
Zat yang menentukan diri sendiri dalam berbagai bentuk adalah Zat Tuhan. Dan tentu tidak bisa lain kecuali Tuhan; baginya, tidak aka nada dua Zat yang mengada bersama-Nya. Kemudian juga, bahwa Zat Tuhan adalah zat dunia; perbedaan yang diantara keduanya adalah diatur dengan nalar yang sama.
Karena Tuhan dan dunia adalah satu Zat, maka hubungan antara Tuhan dan dunia tidaklah merupakan hubungan antara sebab dan akibat, atau hubungan antara pencipta dan ciptaan sebagai yang diyakini ahli ilmu kalam, atau hubungan antara Yang Tunggal dengan emanasi (pancaran-Nya) seperti yang diyakini kaum filosof neo-pletonik. Untuk seluruh bentuk-bentuk hubungan sebab, penciptaan, dan emanasi, berimplikasi pada dualism dalam berbagai derajat antara Tuhan dan dunia, dan secara mendasar bertentangan dengan kebenaran dasar bahwa Zat adalah Tunggal. Karena konsep ini gagal merumuskan kebenaran, Ibnu al-Arabi memakai istilah tajalli, menyingkap diri (self-uncovering) atau perwujudan diri (self relevation) yang menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan dunia. Tetapi, ia tidak mengulangi pemakaian istilah-istilah seperti penciptaan (khalq) dan pencipta (khaliq), emanasi (faydan/shudur) dan emanate (shadir), walau bersebab; tetapi ia menafsirkannya secara konsisten berbeda dengan istilah-istilah dasarnya sendiri.
Tuhan adalah zat yang dikualifikasikan dengan seluruh atribut dan hubungan yang muncul pada zat dalam proses penentuan diri. Apabila zat muncul dalam diri sendiri dari diri sendiri atau a’yan dari sesuatu, maka itulah pengetahuan Tuhan atau zat yang dikualifikasikan dengan pengetahuan. A’yan yang merupakan zat dalam penentuan yang ideal yang membentuk dunia ideal, merupakan pengetahuan Tuhan. Demikian pula, apabila zat menentukan diri dalam objek-objek dari dunia lahiri, yakni ciptaan dan zat dikualifikasikan mampu berbuat demikian adalah Tuhan, yakni maha pencipta. Sebaliknya objek-objek merupakan zat dalam wujud eksistensial yang terbatas, dan membentuk dunia ciptaan pada waktu yang khusus. Oleh sebab itu zat yang sama, yakni pencipta dan ciptaan, Yang Mengetahui dan yang diketahui. Zat Yang Maha Mengetahui dan Maha Pencipta adalah Tuhan, dan zat yang diketahui dan yang dicipta adalah dunia. Dengan kata lain ada zat yang sama, satu, tak terpisahkan dan homogeny, yang apabila dilihat dari satu sisi adalah Tuhan, dan apabila dilihat dari sisi lainadalah dunia.
Nama-nama (asma’) Tuhan ada tiga jenis, yakni satu jenis nama yang negative (sulub) seperti tak terbatas, atau memiliki makna negative, seperti abadi dan tak berpenghabisan; yang pertama berarti yang tidak memiliki awal dan yang terakhir berarti tidak memiliki akhir.
Nama-nama yang kedua berjenis hubungan (nisbi/idhafi) seperti yang pertama (al-awwal) dan yang terakhir (al-akhir), Maha Pencipta (al-khaliq0, dan Tuhan (al-Rabb). Nama jenis ketiga yang muncul sebagai turunan dari suatu sifat tertentu (shifat) Tuhan, seperti Maha mengetahui (al-‘Alim), Maha Kuasa (al-Qadir), Maha Melihat (al-Bashir), dan lain-lain.
Sejauh berkaitan dengan sifat pertama dan sifat kedua, merupakan sifat yang khas Tuhan, dan dunia dikualifikasikan dengan sifat yang bertentangan atau yang berkaitan. Tuhan adalah tak terbatas, dan dunia terbatas; dan Tuhan adalah Maha Pencipta serta Penguasa, sedang dunia adalah ciptaan dan ada di bawah pengaturan-Nya serta penguasaan-Nya(marbub). Berkenaan dengan jenis-jenis sifat ketiga, tidaklah diturunkan dari sifat-sifat Tuhan dan esensi-Nya (Zat) sebagaimana yang diyakini para ahli ilmu kalam. Mereka hanya merujuk pada keadaan Zat-Nya, yang dikaitkan dengan objek tertentu. “Tuhan Maha Mengetahui”, berarti bahwa esensi ilahi dalam keadaan berhubungan mengetahui objek yang diketahui. Tetapi esensi Tuhan tiada lain adalah zat dalam penentuan yang terbatas. Oleh sebab itu, “Tuhan Maha Mengetahui” berarti bahwa Tuhan / Zat dalam keadaan bahwa ia sadar tentang keterbatasan manifestasi-Nya. Oleh sebab itu, Yang Maha Mengetahui dan yang diketahui adalah satu. Hal yang sama terjadi pula pada “Tuhan Maha Perkasa” atau “Tuhan Maha Menghendaki” (al-Murid), dan lain-lainnya.
Lalu apakah arti proposisi “manusia mengetahui atau berkehendak? Karena manusia merupakan manifestasi khusus terbatas dari Zat atau Tuhan, maka ia mengetahui atau berkehendak bukan sebagai yang terbatas. Ia adalah sebagai Tuhan dalam bentuk manifestasi-Nya yang terbatas. Objek pengetahuan manusia adalah Tuhan dan sebarang manifestasi Tuhan, oleh sebab itu, makna proposisi “manusia mengetahui” dalam analisis terakhir, sama dengan proposisi “Tuhan mengetahui”. Dalam kasus lain, yang mengetahui adalah Tuhan, baik sebagai Tuhan yang tidak terbatas atau Tuhan dalam manifestasi-Nya yang terbatas;dan objek yang diketahui adalah sama, baik Tuhan yang demikian, atau Tuhan dalam bentuk tertentu.
Konsekuensi dari doktrin Zat Tunggal (Wahdat al-Wujud) seperti yang dikemukakan Ibnu al-Arabi adalah bahwa segala subjek dari setiap predikat adalah Tuhan, bahkan apabila subjek yang Nampak adalah berbeda, sebagai zat manusia ataupun bukan manusia. Tuhan adalah yang mengetahui dan yang diketahui , yang mana kuasa, dan objek kekuasaan, yang berkehendak dan yang dikehendaki, penggerak dan yang digerakkan dan lain-lainnya. Tuhan juga pelaksana dari seluruh tindak, baik atau buruk, pemegang dari seluruh kepercayaan, baik atau buruk, dan yang ada disetiap pengalaman, yang menyenangkan maupun menyakitkan. Ia juga merupakan tindakan-tindakan, gagasan-gagasan dan pengalaman-pengalaman yang berlangsung, yang diyakini atau yang dialami.
Tuhan imanen dan juga trasenden. Ia adalah imanen sejauh ia menyatu dengan dunia; dan dia adalah satu dengan dunia dalam wujud, sebagaimana juga dengan sifat-sifat, tindakan-tindakan, dan pengalaman-pengalaman mengada di dunia yang diyakini dan diketahui, dikehendaki dan dilaksanakan, dinikmati dan dirasakan, yang mana ia merupakan subjek nyata. Ia adalah transenden sejauh ia berbeda dengan dunia; dan ia berbeda dari dunia sejauh dalam sifat-sifat yang tidak dapat menyatu dengan dunia, misalnya bahwa dia adalah tak terbatas dan abadi, maha pencipta dan sesembahan, mengatur dan menuntun, dan lain-lain.

D. WAHDAT AL-SYUHUD
Syekh ahmad sirhindi bukan saja membedakan antara tauhid Rasuli dari tauhid wujudi-nya Ibnu a-Arabi, dan menunjukkan bahwa yang kedua tidak sesuai dengan yang pertama. Tetapi ia juga berupaya merumuskan filosfi yang berdasar pada pengalaman tertinggi sufi tentang transedensi ilahi, yang memang benar-benar sesuai dengan ajaran rasul. Filosofi ini biasa disebut dengan Wahdat a syuhud atau tauhid syuhudi, yakni merasakan bersatunya diri dengan zat; yang meupakan penguatan bahwa pengalaman yang dirasakan oleh sfi pada tahap pesatuan hanyalah sekedar persepsi subjektif (syuhudi). Diluar jangkauan konotasi negative ini, istilah tersebut tidak menawarkan indikasi positif dari sifat filosofisnya sirhindi. Dibagian lain penulis telah menjelaskan cukup panjang tentang filosofi tersebut. Dan disini hanya dicob untuk mengemukakannya secara singkat.
Gagasan sirhindi yang paling mendasar ialah bahwa tuhan sepenuhnya berbeda dari dunia, dan juga sepenuhnya sebagai sesuatu yang lain. Dunia bukanlah satu dengan Tuhan, dan juga bukan dalam wujudnya. Tuhan adalah satu zat tersendiri dan dunia adalah yang lain, sedang keduanya tidak akan memiliki kesamaan. Sirhindi bukannya tidak sadar terhadap fakta, bahwa ibn al-arabi belum lengkap dalam mengidentifikasi dunia dengan Tuhan, yang menyadari adanya perbedaan diantara keduanya serta mengakui adanya transedensi relative oleh Tuhan. Tetapi ia meyakini bahwa peredaan tersebut hanya bersifat pinggiran (peripheral) dan sangat tidak memadai. Dalam wahdat al-wujud, identitas merupakan hal yang paling fundamental; merupakan ksatuan yang tak terbagikan, seragam baik pada Tuhan maupun dunia. Sirhindi menolak postulat ini, yakni tentang kesatuan mendasar yang menyatakan bahwa dunia adalah suatu zat dan tuhan adalah zat lain, sehingga eksistensi tuhan bukan merupakan eksistensi dunia.
Karena tuhan merupakan hal lain dan sepenuhnya beda dari dunia, maka kebenaran mendasar bukanlah pada monism zat, tetapi justru pada dualism. Inilah apa ayang disebut sirhindi sebagai tesis dasar tentang perbedaan. Kalangan umum menyebut filsafatnya sebagai dualism (itsnainiyat), dan dia sendiri tidak pernah menarik diri dari istilah tersebut. Tetapi dia sendiri menyatakan , bahwa dualisme bukanlah yang tertinggi; karena walau dunia tidak menyatu dengan tuhan (hama’ust), tetapi ia berkembang \dari Tuhan ( hama az’ust). Kedua bahwa eksistensi dunia tidaklah dapat diperbandingkan dengan eksistensi Tuhan, karena eksistensi tuhan benar-benar nyata, sedang eksistensi dunia bersifat maya (khayali) dan tidak nyata (mauhum). Oleh sebab itu, karena yang nyata hanyalah satu zat saja, maka dunia tidaklah pernah ada. Sirhindi tidak menolak bahwa doktrinnya disebut sebagai wahdat al-wujud asal dipahami seperti yang dimaksudkannya.
Ibn al-arabi dan sirhindi sama-sama menyetujui proposisi bahwa yang nyata hanyalah zat yang disebut Tuhan. Prbedaannya bermula dari pertanyaan, sejauh mana hubungan dunia dengan Tuhan. Ibn al-arabi percaya bahwa eksistensi tuhan identic dengan eksistensi dunia; bahwa adanya eksistensi tunggal yang melingkupi segalanya, yang apabila dilihat darisatu sisi adalah tuhan dan apabila dilihat dari sisi lain adalah dunia. Tuhan imanen sekaligus transeden, arena tuhan merupakan zat yang tak terbatas, sementara dunia sebagai manifestasi tuhan bersifat terbatas.

E. Perbedaan antara whdat al-wujud dan wahdat al-syuhud
Perbedaan filosofi antara Ibnu al-arabi dan sirhindi sangat substansial dan mendasar. Tetapi dengan alas an tertentu, maka perbedaan tersebut tidaklah diapresiasi secara penuh. Dan sirhindi bertanggung jawab sebagian atas hal tersebut. Karena ia lebih memilih mengemukakan filosofinya dalam surat-surat yang kemudian dikirimkan pada orang-orang yang berbeda. Media ini walau cukup efektif, tetapi tidak memadai untuk memancing suatu pembahasan, paling tidak untuk memaparkan seluruh eksposisi filsofis. Misalnya ia memberikan garis besar system pemikirannya dalam sebuah surat, dan kemudan mengembangkannya daam konep pada surat lainnya, dan yang lainnya lagi pada yang ketiga; membahas suatu masalah di surat ini, dan sebagian lagi dibagian lain; dan kemudian memberikan pembahasan yang penting yang disampaikan kepada orang lain. Oleh sebab itu orang yang ingin menyarikan seluruh pikirannya terlebih dahulu harus membaca volume besar dari kumpulan surat-suratnya yang memuat gagasan dari filsafatnya.
Kesulitan kedua yang sering dihadapi, yatu bahwa gagasan sirhindi selalu berkembang. Walau ia tidak memiliki waktu cukup untuk melintasi seluruh tahap-tahap pengalaman mistik, tetapi ia tidak pernah menunggu sampai bertahun-tahun hingga ia mampu menuliskan pandangannya de dalam doktrin filosfis. Keulitan ketiga, yang kadang-kadang merupakan teka-teki, yakni kesuitan dari terminology yang digunakannya. Semula dikembangkan oleh ibn al-arabi untuk memaparkan gagasan-gagasannya. Sehingga ketika digunakan oleh sirhindi untuk mengemukakan pandangan yang sepenuhnya berbeda, tentu saja hl tersebut menyebabkan terjadinya kekaburan
Untuk menyusun garis bsar dari kedu system tersbut, penulis mencoba menjernihkan kedua kekaburan tersebut. Penulis telah mencoba, misalnya menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh ibn al-arabi yang menyatakan bahwa zat (wujud) adalah satu, dan apa yang dimaksudkan oeh sirhindi untuk proposisi yang sama. Penulis juga mencoba merujuk pada perbedaan pandangan mereka tentang sifat a’yan tsabitah atau gagasan tentang sesuatu sebelum penciptaan, dan pada ciptaan itu sendiri. Contoh lain adalah cara bagaimana mereka membahas status dunia. Eduanya menyebutkannya sebagai bayangan (dzill), tidak mewujud(ma’dum), dan ilusi (mawhm). Tetapi mereka memahami sebutan-sebutan tersebut dengan pengertian yang berbeda. Apabila ibn al-arabi menyatakan dunia sebagai dzill, maka yang dimaksudkannya bahwa yang ada (exist) merupakan manifestasi tuhan, dan bukan karena dirinya sendiri. Ia sepenuhnya menolak bahwa hal tersbut berbeda dari tuhn atau sebagai realitas berderajat lebih rendah. Dan apabila sirhindi menyebt dunia sebagai dzill maka ia bukan saja menyetakan bahwa ha tersebut, demi eksistensinya, amat bergantung pada Tuhan; tetapi juga mengada bersama sebagai zat yang saling berbeda, yang berpisah dari Tuhan, dan mempunyai derajat lebih rendah, dan sepenuhnya bukan satu kesatuan.
Demikian pula apabila ibn al-arabi menyatakan bahwa dunia sebagai tidak ada (non existing-ma’dum) maka yang dimaksudkannya adalah objek yang disebut prototype ideal ( a’yan tsabitah), yang merupakan deerminasi ideal dari zat, yang tetap abadi dalam keadaan subsistensi (tsubut) dalam pemikiran Tuhan dan tidak memiliki eksistensi dalam dunia terluar. Yang ada hanyalah tuhan sndiri daam pola esensi ideal tersebt. Sebaliknya apabila sirhindi menyatakan dunia sebagai ma’dum, mka yng dimaksudkannya yakni bahwa objek-objek dunia dalam esensinya adalah determinasi, bukan zat dan hanya merupakan refleksi dari sifat-sifat Tuhan da nada di dunia terluar karena kebajikan pantulan eksistensi Tuhan dalam tingkatan yang apabla dibandingkan dengan eksistensi tuhan dalam tingkatan yang apabila dibandingkan dengan eksistensi Tuhan ada dalam tingkatan tidak-ada(non-existence)
Begitu juga apabila ibn al-arabi menyatakan bahwa dunia adalah imajiner (khayali) dan ilusi (mawhum), maka yang dimaksudkannya bahwa dunia sebagai kepercayaan bersama merupakan satu kesatuan yang ada dengan sendiri, terpisah dari Tuhan, dan tak lain hanyalah ciptaan dari imajinasi dan ilusi. Kenyataan adalah menyatu dengan Tuhan, dalam pengertian berbeda, tetapi sebenarnya esensinya sama; yakni Tuhan yang mengada dalam bentuknya yang tertentu. Sebalinya apabila sirhindi menyatakan bahwa dunia adalah imajiner dan khayali maka yang dimaksudkannya adalah bahwa dunia ada dan terpisah dari Tuhan, tetapi adanya bukan dengan eksistensi nyata sebagaimana Tuhan, tetapi saat eksistensi tak nyata sebagaimana halnya citra di dalam cermin atau objek dari sulapan imajinasi dan pandangan. Penampakan tanpa realitas (numud-i-bi bud) seperti penamilan lingkaran yang diciptakan oleh gerakan cepat titik nyala, yang tampak merata walau sebenarnya tidaklah demikian.
Masalah-masaah demikian juga muncul dalam karya sirhindi sehingga upaya memahami filosofinya enjadi semakin sulit. Tetapi kesulitan tersebut tidaklah luar biasa, karena dengan kesabaran dalam mengkaji karyakaryanya, pastilah kesulitan tersebut akan dapat diatasi . sebenarnya lebih banyak kesulitan yang ditimbulkan oleh para sarjana yang sangat patuh baik pada Ibnu al-Arabi maupun sirhindi. Mereka tidak siap untuk menerima, bahwa kedua sufi terkemuka terebut memiliki perbedaan-perbedaan mendasar sebagai akibat mereka berlebihan ata kurang memahami dengan baik perbedaan-perbedaan tersebut.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Allah mustlak dengan keterbatasan dan terbatas dengan kemutlakannya dengan kata lain Allah mutlak dari segi dzatnya yang maha suci dari segala sifat dan terbatas dalam kemutlakan dengan nama-nama, sifat-sifat, dan fenomena-fenomena alam. Jadi penampakanNya itu sendiri tidak terbatas karena kalimatnnya tidak pernah habis, inilah yang disebut lautan tak bertepi. Dialah yang maha esa dalam banyak rupa dan rupa yang banyak yang pada hakikatnya wajah-wajah dari dzat yang esa. Dialah penghimpun segalannya yang membedakan segalanya dalam berbagai rupa. Aspek keindahan mewakili tasybih dan aspek keagungan mewakili tanzih, keduanya itu mewujudkan kesempurnaan pada dzatnya namun keseluruhannya itu menunjukkan kemutlakan yang tak terhingga.


DAFTAR PUSTAKA

Dr.Abdul Haq Ansari.Sufisme dan Syariah.Rajawali Press.Jakarta.1998
Prof.Dr.Abuddin Nata,M.A.Akhlak Tasawuf.Rajawali Press.Jakarta.1998
Ebooks.google.co.id

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar